Jumat, 30 November 2012

Analisis Novel Azab dan Sengsara



Azab dan Sengsara
Nama Novel dan Pengarang
Nama Novel               : Azab dan Sengsara
Pengarang                  : Merari Siregar

Ø  Sinopsis Novel Azab dan Sengsara

Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin. Pendapat itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.

Ø  . Unsur Intrinsik

A.  Tema              : Tidak selamanya kebahagiaan dapat diperoleh dengan  mudah harus  ada  
                          pengorbanan
B.     Penokohan (karakterisasi, perwatakan)
Penokohan adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai berikut.
1)      Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan, “Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur makanan dan sajur jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2)      Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong, berbakti dan sangat pintar. Berbudi pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari penggalan dialog : “Ia menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada marah mendengar umpatan itu.


3)       Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat masalah dan takabur dengan hartanya. Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan Baringin terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya dalam perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4)       Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik hati. Wujud kasih sayang itu sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog berikut ini ; “Anakku sudah makan?” bertanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
5)      Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung dari penulis sebagai berikut ; “Dia (Aminudin) adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak”.
6)      Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga penyayang.

C.   Alur (Plot)
              Alur dalam novel “Azab dan Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju dan alurmundur.
        Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus asa. Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan hati Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke Medan untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas menjadi isteri Aminuddin  karena status sosial yang sederajat dengan mereka.
                    Konflik memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu seorang kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan setelah menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun. Kemudian ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai bercerai dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

D.    Setting (latar):
Latar tempat:      
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.      
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.           
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)           
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh Bapaknya Aminuddin       
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A

Latar waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru, tegang.

E.     Sudut Pandang   
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2.    Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)



F.      Gaya dan Nada
Gaya penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-penggambaran baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran tentang tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah. Misalnya “ Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar